RPH

on Minggu, 30 Juni 2013


1.1 LATAR BELAKANG
            Menyongsong era millenium ketiga abad 21, pembangunan di sektor peternakan dan  kesehatan hewan dituntut untuk tampil dengan paradigma baru yang lebih memihak pada rakyat kecil. Dengan semakin meningkatnya laju mobilitas manusia di seluruh dunia pada era tersebut, maka arus penularan penyakit pada hewan, ternak dan manusia sangat mudah terjadi. Hal ini merupakan suatu tantangan atau tugas yang berat di bidang kesehatan hewan sebagai salah satu ujung tombak dalam mencegah, mendeteksi dan menangkal masuknya penyakit-penyakit yang bersifat zoonosis dari luar Indonesia. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit, namun hasilnya belum memuaskan, terutama dalam hal pencegahan dini, diagnosa secara cepat, efisien dan akurat. Untuk itu melalui pendekatan strategis dari aspek penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan hewan, diharapkan dapat memecahkan beberapa persoalan yang dihadapi dalam menangani penyakit pada hewan. Hal lain yang lebih penting adalah pengembangan sumber daya manusia dan teknologi diagnosis yang berbasis molekuler yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan hewan.
Hewan dan ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang amat penting bagi sumber daya manusia. Sumber tersebut dapat diperoleh dari produk peternakan dan perikanan. Ikan merupakan penghasil protein hewani yang amat penting bagi manusia, terutama dalam bentuk lauk pauk yang amat digemari oleh masyarakat di Indonesia. Pada masa sekarang ini banyak sekali muncul masalah dalam usaha budidaya perikanan. Salah satu yang penting dalam usaha perikanan tersebut adalah masalah penyakit yang menyerang pada ikan, baik yang disebabkan oleh parasit, bakteri, virus dan jamur. Penyakit ini banyak menimbulkan kerugian ekonomi bagi peternak ikan, karena menyebabkan dapat kematian yang sangat tinggi.
Sehubungan dengan pentingnya pengetahuan dalam diagnosis penyakit pada ikan baik secara histopatologi dan diagonis modern, Bagian Patologi banyak melakukan penelitian tentang penyakit ikan, kerjasama dengan Dinas Perikanan dan Balai Karantina Ikan Pusat maupun daerah.
·  Visi
”Terwujudnya suatu produsen vaksin dan diagnostika yang tangguh, maju dan efisien dalam menunjang pelayanan Kesehatan Hewan dan Pembangunan Peternakan apda umumnya”.
·  Misi
  1. Memproduksi vaksin dan bahan biologik lainnya untuk memenuhi kecukupan pengamanan penyakit secara nasional
  2. Mengupayakan peningkatan mutu pengembangan produk sesuai kemajuana ilmu pengetahuan dan teknologi dan pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal
  3. Memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat pengguna vaksin dan diagnostika
  4. Mengoptimalkan kapasitas produksi vaksin dan bahan biologik untuk mengurangi impor.
·  Tugas Pokok
  1. Memproduksi vaksin, antisera, diagnostika dan bahan biologis lainnya
  2. Menguji mutu produksi
  3. Melaksanakan pengadan dan pemeliharaan sarana produksi serta distribusi hasil produksi
  4. Melakukan penyidikan guna peningkatan mutu hasil produksi dan identifikasi penyakit








BAB 2 HASIL PENGAMATAN
            Pusvetma adalah Unit Pelaksana Teknis dilingkungan Direktorat Jenderal Peternakan yang diberi tugas untuk memproduksi vaksin dan bahan biologik lain yang diperlukan oleh pemerintah dalam pengendalian penyakit hewan menular penting di Indonesia.
            Sejak didirikan sebagai Balai Penyelidikan Penyakit Mulut dan Kuku tahun 1952 kemudian menjadi Lembaga Penyakit Mulut dan Kuku (LPMK) dan selanjutnya sebagai Lembaga Virologi Kehewanan (LVK) sampai tahun 1978 dan sekarang menjadi Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma), lembaga ini merupakan Unit Pelaksana Teknis yang diberi tugas membuat dan mendistribusikan vaksin, antigen, diagnostika dan bahan biologis lain keseluruh wilayah di Indonesia.
Adapun tugas pokok yang diemban oleh PUSVETMA adalah untuk :
  1. Memproduksi vaksin, antisera, diagnostika dan bahan biologis lainnya.
  2. Menguji mutu produksi.
  3. Melaksanakan pengadan dan pemeliharaan sarana produksi serta distribusi hasil produksi.
  4. Melakukan penyidikan guna peningkatan mutu hasil produksi dan identifikasi penyakit.
            Indonesia telah dinyatakan bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) sejak tahun 1986. Status bebas tersebut diperoleh dalam kurun  waktu 100 tahun terhitung dari wabah pertama yang terjadi pada tahun 1887 di Malang, Jawa Timur. Pada tahun 1990 Indonesia berhasil mendapatkan pengakuan dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale des Epizootica/OIE)  sebagai negara berstatus bebas PMK tanpa vaksinasi, melalui Resolusi OIE No. XI tahun 1990. Mengingat posisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang berada di sekitar negara yang masih tertular PMK, seperti India, Filipina, Malaysia (kecuali Sabah dan Serawak), Vietnam dan Thailand, maka potensi dan resiko masuknya bibit penyakit PMK menjadi sangat tinggi. Mengingat perkembangan wabah penyakit PMK yang terjadi di negara lain akhir-akhir ini, yaitu adanya wabah PMK di Korea Selatan pada bulan Januari 2010, di Hongkong  pada bulan Februari 2010, dan kemudian di  Jepang pada bulan April 2010, selanjutnya adanya wabah PMK di berbagai negara pada tahun 2011, maka Indonesia harus dan perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi dan resiko masuknya penyakit PMK. Salah satu upaya dalam rangka meningkatan kewaspadaan tersebut di atas adalah melalui peningkatan pelaksanaan sistem kesiagaan darurat penyakit hewan (Animal Disease Emergency Preparedness) yang diaplikasikan dalam bentuk kegiatan simulasi PMK. Oleh karena itu Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia,  bekerjasama dengan Dinas Peternakan & Kesehatan Hewan Propinsi Sumatera Utara dan Dinas Pertanian Kota Binjai pada tanggal 29 September – 1 Oktober 2011 menyelenggarakan Simulasi PMK di Medan, Sumatera Utara. Terpilihnya Sumatera Utara sebagai lokasi simulasi karena Propinsi Sumatera Utara berdekatan dengan negara tetangga Malaysia yang tidak bebas PMK, sehingga propinsi ini berisiko tinggi terhadap pemasukan dan penyebaran penyakit PMK, terutama bila ada pemasukan hewan atau produk hewan yang illegal. Peserta Simulasi adalah perwakilan dari Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi se-Sumatera, Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten se-Sumatera, Laboratorium Veteriner seperti Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet), Bogor, Balai Besar Veteriner (BBV)  Wates (Yogyakarta), Denpasar (Bali) dan Maros (Sulawesi Selatan), Balai Penyidikan dan Pengamatan Veteriner (BPPV) Regional I Medan, Regional  II Bukittinggi, Regional III Lampung dan Regional V Banjarbaru; dan Laboratorium Tipe B se-Sumatera, Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma), Surabaya, Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Stasiun Karantina Hewan di Sumatera, Pusat Kesehatan Hewan se-Sumatera, Kepolisian Sumatera Utara, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah.
Simulasi dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu dalam ruang (indoor) dan di lapang (outdoor). Khusus untuk simulasi outdoor dilakukan di suatu peternakan babi di Kota Binjai, mengingat babi adalah hewan yang sangat mudah tertular virus PMK, dan bila sakit tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas, sehingga berpotensi sebagai sumber penularan penyakit.


4 komentar:

Unknown mengatakan...

bermanfaat terima kasih

Unknown mengatakan...

artikelnya sangat membantuuuu

Unknown mengatakan...

bagus bagus

Unknown mengatakan...

mari kita tumbuhkan rasa nasionalis kita...!!!
MERDEKA...!!!

Posting Komentar

Blogroll